Rabu, 24 Maret 2010

Islamisasi or Politisasi Islam : Dinamika Politik Dana Mbojo Satu Pekade Terakhir (2000-2010) (1)

By : Jamil(2)

Oleh : Syarifuddin Jurdi(3)

PENGANTAR
Iklim politik Bima atau kita sebut saja dana Mbojo dewasa ini sudah semakin “kosmopolitan”, berbagai tanda yang menunjukkan kosmopolitan itu dapat dilihat dengan penataan kota, gaya hidup, budaya hedonisme dan konsurnerisme telah menjadi bagiar-bagian dari kehidupan sebagian masyarakat, tentu didukung oleh modernisasi alat transformasi seperti ojek, juga memasyarakatnya HP sebagai tanda modernisasi.
Pada saat yang sama kita menyaksikan praktek politik kaum elite yang sulit dibedakan (antara mereka yang berkuasa atau pun yang berusaha meraih berkuasa) antara yang sungguh-sungguh berjuang untuk memajukan dana Mbojo dengan mereka yang hanya "menumpang" untuk mecani hidup dan menggunakan seluruh simbol budaya, agama dan politik dou Mbojo untuk "menghancurkan” identitas dou Mbojo. Komitmen elite politik untuk membangun Mbojo yang lebih maju dan mensejahterakan rakyat semakin diragukan, apakah mereka yang kini berkuasa benar-benar punya ittikad baik untuk membangun dana Mbojo atau hanya sekedar bertopeng dibalik isu-isu politik "manipulatif” untuk menipu dan membodohi rakyat?
Melalui tulisan sederhana ini, saya akan menunjukkan beberapa persoalan empirik yang sedang dihadapi oleh masyarakat Mbojo, tentu apa yang akan saya tunjukkan ini belum dapat mewakili apa yang menjadi kegelisahan masyarakat Bima, juga apa yang akan saya kemukakan ini oleh sebagian dou Mbojo akan membantahnya, itu hal biasa dalam dunia Demokrasi asal dilakukan dengan cara-cara yang argumentative, rasional dan didukung oleh data-data empirik, meskipun data sekunder seperti yang digunakan oleh Geroge Junus Aditjondro dalam bukunya Membongkat Gurita Cikeas Dibalik Skandal Bank Century. Tulisan ini akan menelusuri proyek islamisasi dana Mbojo dengan pendekatan historic dengan memetakan bagaimana proses Islamisasi berlangsung di Bima, kemudian akan melihat dengan pendekatan kontekstual- khususnya pada rnasa rezim otoriter (Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru) dan usaha re-Islamisasi yang dilakukan oleh elite-elite daerah Bima dalam sepuluh tahun terakhir, diakhiri dengan usaha melihat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Apakah kebijakan pemerintah Bima dewasa ini sudah mensejahterakan rakyat atau justru membuat penderitaan bagi rakyat?

Islamisasi Masyarakat Bima: Pendekatan Historis
Dalam konteks sejarah masyarakat Bima, kita dapat menyebut proses Islamisasi generasi pertama terjadi sejak kerajaan Bima membangun kontak dengan kerajaan Tallo dan kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, setidaknya dua kerajaan itu telah lebih dahulu terjadi Islamisasi setelah kedatangan Chatib Tuaggal (Dato ri Bandang), Chatib Sulaeman ( Dato ri Patimang) dan Chatib Bungsu (Dato ri Tiro) yang terjadi antara abad ke-14 sampai abad ke-15. Sementara Islamisasi di Bima dimulai dengan masuk Islamnya raja Bima La Ka'i yang keimudian berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1640, sejak saat itu pemerintahan di Bima menjalankan kekuasaan dengan syariat Islam. Meski pemerintahan secara resmi dijalankan diatas syariat, namun adat tetap dipertahankan sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan.(4)
Proses transmisi Islam ke dalam wilayah kekuasaan membuka kemungkinan agama ini akan melakukan transmisi ke dalam kehidupan masyarakat secara cepat Dengan memahami konteks sosio‑politik Islamisasi generasi awal tersebut, Islam diterima sebagai seperangkat dogma dan nilai yang memandu kehidupan masyarakat, Islam yang diterima tidak seluruhnya berdasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang otentik, Islam diterima dengan sejumlah persyaratan seperti tradisi dan kebiasaan masyarakat yang telah berurat-akar tidak boleh dihilangkan begitu saja, tegasnya Islam diterima dengan modifikasi berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Pasca kepemimpinan Sultan Abdul Kahir (La Ka'i), kepemimpinan di Bima masih memiliki pola Islamisasi yang sama dengan menguatkan pencerahan bagi warga, karena itu, Islam pasca Sultan Abdul Kahir dipergunakan sebagai ideologi gerakan untuk menentang segala bentuk kolonialisme dalam bentuk apapun, termasuk kerajaan Mbojo menentang keras segala tindakan dan perilaku pemerintah Kolonial Belanda yang dengan berbagai dalih ingin masuk ke dana Mbojo. Dengan sikapnya yang tegas terhadap Kolonialisme tersebut, kerajaan Mbojo tetap dihormati dan dihargai di wilayah Indonesia Timur, selain itu, kerajaan Mbojo membangun hubungan mutualistik dengan kerajaan Gowa, kerajaan Tallo, Kerajaan Bone dan Luwu di Sulawesi Selatan.
Kendati sikap tegas dan keras pernah ditunjukkan oleh kerajaan terhadap kolonialisme, namun pada 1906, kerajaan Mbojo berhasil ditaklukkan Belanda dan mengakui kekuasaan Belanda. Sikap kerajaan pada waktu itu melahirkan gerakan perlawanan rakyat atas kerajaan dan sekaligus perlawanan terhadap Belanda yang sudah mulai menguasai dana Mbojo. Setidaknya terdapat empat Galarang yang memprotes sikap kerajaan yang ketika itu di pimpin oleh Sultan Ibrahim yaitu galarang Ngali, Kalla, Dena dan Rasanggaro. Implikasi dari sikap protes tersebut, keempat galarang tersebut terpaksa mengangkat senjata untuk melawan kolonial Belanda, maka meletuslah perang Ngali, perang Kalla (Donggo), perang Denah dan perang Rasanggaro. Di antara perang tersebut, perang Ngalilah yang paling besar.
Apa yang ternjadi dasar mengapa keempat galarang tersebut melakukan perlaewanan? Menurut keterangan sebagian dou matua dan literatur yang membahas tentang hal tersebut adalah ideologi keagamaan. Islam-lah yang menjadi dasar mengapa mereka melakukan perlawanan, mereka mengumandangkar, tasbih, tahlil, tahmid dan takbir. Di Masjid besar Ngali misalnya dilantunkan ayat­-ayat suci al-Qur'an untuk mengobarkan samangat perlawanan warga, demikian pula pada perang Kalla, Dena dan Rasanggaro.(5)
Dengan sangat jelas, proyek Islamisasi yang dilakukan pra kemerdekaan yang berlangsung sejak kerajaan Mbojo menganut Islam dipandang sangat sukses, karena Islam tidak hanya menjadi simbol-simbol politik kerajaan semata, kendati kerajaan sendiri tidak lagi peduli dengan proyeknya sendiri, tetapi kesadaran ideologis dan keagamaan masyarakat Mbojo terhadap kolonialisme dan penjajahan dalam bentuk apapun telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat, ini kita anggap sebagai keberhasilan proyek Islamisasi — yang semula mengandalkan pendekatan struktural, namun dalam perkembangannya dengan sangat meyakinkan justru pendekatan kultural telah membangunkan masyarakat dari ketertindasannya.
Islamsasi yang berlangsung di dana Mbojo harus dibaca dengan memahami proses transmisi Islam melalui proyek struktural yang secara meyakinkan berhasil mencipta masyarakat yang memiliki kesadaran teologis dan kesadaran itu telah membangkitkan mereka dari ketertindasan, Islam bagi dou Mbojo dengan meminjam Ali Syariati telah menjadikan Islam sebagai ideologi gerakan perlawanan terhadap hegemoni asing, ketidakadilan, kolonialisme dan berbagai bentuk penjajahan.
Dengan memahami posisi negara (kerajaan) dan masyarakat pada periode pra kemerdekaan, maka dapat disederhanakan bahwa proyek Islamisasi yang digagas oleh kerajaan sangat sukses dengan menciptakan sejumlah identitas lokal atau budaya lokal yang religius seperti budaya rimpu, budaya ini merupakan budaya yang sangat Islami, karena mengajarkan perernpuan untuk menutup aurat, menutup aurat menurut budaya Mbojo adalah rimpu, menutup aurat bagi masyarakat modern memakai jilbab, bagi masyarakat yang lain dengan cara yang lain pula, toh Nabi tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa model tutup aurat harus pakai jilbab. Dalam aktivisme warga yang terkait dengan kehidupannya, Islamisasi pra kemerdekaan kita harus mengakui sangat sukses.
Sebenarnya kita dapat saja mernbuat sejumlah daftar mengapa kita menyebut Islamisasi pra kemerdekaan sukses, misalnya aktivitas budaya Islami berlangsung secara merata di berbagai Desa dan pelosok dana Mbojo. Pada dekade-dekade terdahulu, kegiatan budaya berupa belajar mengaji atau membaca al-Qur'an berlangsung secara massif hingga dekade awal 1990-an. Apa yang terjadi sebenarnya merupakan realisasi dari warisan intelektual Islam yang sudah berurat-akar pada masyarakat. Banyak dou matua yang secara talus ikhlas mengajarkan anak-anak agar pandai membaca al-Qur'an tanpa dipungut biaya satu sen pun, mereka hanya mengharapkan pamrih sosial, artinya anak didiknya agar bisa baca Al-Qur’an dengan baik. Demikian pula budaya gotong royong yang merupakan warisan kemanusiaan dari budaya nusantara dan Mbojo sangat mewarnai kehidupan masyarakat kala itu. Dengan tegas saya harus menyebutkan bahwa proyek Islamisasi sangat sukses, mengangkat masyarakat dari ketertindasan, dari kebodohan, dari “kafir” atau belum Islam ke Islam yang identik dengan cahaya yang terus menerus menerangi kehidupannya dan menjadikan ideologi Islam sebagai ideologi masyarakat. Apakah masih berlangsung proyek Islamisasi atau minimal, mempertahankan warisan intelektual Islam periode pra kemerdekaan pada periode setelahnya?

Pendekatan Kontesktual Islamisasi Dana Mbojo
Sejak dekade 1950-an, nuansa Islam di Bima mulai mengalami pemudaran akibat langsung dari kondisi politik bangsa yang bergejolak, khususnya setelah peristiwa PRRI/Permesta di Sumatera Berat, kasus DI/TII di Jawa Barat, Aceh den Sulawesi Selatan. Pada periode yang sama, partai Masyumi sebagai partai yang dominan di Bima masih terus menjalankan aktivitasnya, namun kondisi politik nasional mulai mengalami perubahan yang ditandai, dengan langkah Soekarno menciptakan pra­kondisi untuk memuluskan jalannya membentuk Demokrasi Terpimpin dan akhirnya 1959, Soekarno mengeluarkan dekrtit Presiden yang membubarkan Parlemen dan membentuk pemerintahan baru yang langsung dipimpin Soekarno sendiri.(6)
Sejak perubahan politik tersebut, segera bergeser pada perubahan di berbagai daerah tersebutkan disini yang terasa adalah lembaga adat dan lembaga Islam (mahkamah syariah) mengalami perubahan, bahkan sejak akhir 1950-an, Mahkamah Syariah yang selama ini sebagai lembaga politik penting pada kerajaan Bima mulai kehilangan eksistensinya, padahal itu kita sebut sebagai identitas lokal dou Mbojo yang merupakan hasil dari Islamisasi sebelumnya. Pemudaran tersebut – entah berkaitan atau tidak, dengan hilangnya Sultan Muhammad Shalahuddin. Menurut Muma (Kyai Haji Abdul Ghany Masjkur) sejak akhir dekade 1950-an, lembaga-lembaga Islam yang menjadi simbol kekuasaan islam di Bima mulai mengalami pemudaran pengaruhnya, hingga Demokrasi Terpimpin dan terus menerus terjadi pada masa Orde Baru, Mahkamah Syariah tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang bertugas mengawal jalannya pemerintahan.(7)
Pemudaran pengaruh Islam di dana Mbojo terus dirasakan selama periode Orde Baru, bahkan simbol-simbol budaya dan warisan kekuasaan Islam di Bima Perlahan-lahan hilang. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, sejumlah simbol-simbol kebudayaan dou Mbojo dan warisan kerajaan diambil oleh Bupati yang berkuasa antara periode tersebut. Pada periode yang sama terjadi modernisasi yang signifikan, ditandai dengar, modernisasi pada bidang pertanian, modernisasi ini membawa manfaat dan kebaikar kepada para petani seperti pupuk, bibit dan alat-alat modern lain (mesin pembajak sawah dll.) memberi efek bagi peningkatan hasil produk pertanian. Sejalan dengan itu, industri komunikasi seperti media massa dan TV mulai menjangkau masyarakat pedesaan dan pedalaman yang menyebabkan masyarakat cepat memperoleh informasi-informasi dari berbagai kota dan belahan dunia lainnya.
Sejak Demokrasi Terpimpin hingga kejatuhan Ode Baru 1998, proses Islamisasi di dana Mbojo nyaris tidak memiliki greget lagi, bahkan pamornya mengalami pemudaran yang signifikan, secara struktural - Islamisasi mengalami kegagalan total bahkan kekuasaan selama Orde Baru memiliki varian sikap terhadap Islam, mulai dari sikap antagonis (antara 1968-1982), kemudian antara Islam dan negara mengembangkan sikap resiprokal kritis (1982-1988) dan sejak 1988, Negara mengakomodasi sejumlah aspirasi Islam. Dengan membaca konteks politik nasional tersebut, dengan watak sentralistik Orde Baru, tentu implikasi tersebut merambah ke sejumlah daerah termasuk di Bima, maka mustahil melakukan gerakan Islamisasi pada ranah struktur dan demikian pula pada ranah kultural. Kuatnya kelompok phobi Islam dalam struktur negara pada era 1970-an sampai 1980-an menyulitkan proyek Islamisasi, bahkan para ustadz yang mau khutbah harus membuat naskah khutbahnya untuk diserahkan ke Babinsa atau Kapolsek, apabila tidak menyerahkan naskah khutbahnya, akan diancam akan ditangkap dan dipenjara.
Negara termasuk negara lokal Bima tidak berpretensi melarang Islam ibadah, Islam masjid atau Islam ritual, yang mereka "musuhi" adalah Islam politik dan Islamisme yang mengusung isu negara Islam atau teokrasi. Itulah sebabnya, Islam ritual, Islam ibadah dan Islam masjid di Bima berkembang dengan baik, kegiatan mengaji dan aktivitas keagamaan berlangsung dengan baik. Inilah yang sedikit memelihara warisan kebudayaan Islam di Bima, tanpa adanya tokoh-tokoh yang gigih terus berjuang pada ranah kultural tersebut, maka tentulah sulit bagi generasi yang hidup antara 1970-an - akhir 1990-an untuk menyaksikan aktivitas keagamaan yang mengagumkan.
Kegagalan dalam proyeks Islamisasi pada masa Orde Baru, juga berimbas pada rendahnya tingkat kesejahteraan warga. Hasil-hasil pertanian yang merupakan mata pencaharian mayoritas masyarakat Bima tidak cukup mengangkat kesejahteraannya, meski program pemerintah pada sektor pertanian dianggap sukses di Bima, sehingga masyarakat Bima pada masa itu surplus beras, tetapi itu tidak banyak mengangkat tingkat kesejahteraan warga, karena harga padi sangat rendah. Setidaknya dapat dikatakan bahwa hasil modernisasi membawa implikasi bagi peningkatan materi, tetapi warga kurang bahagia dalam mengamalkan dan mensosialisasikan ajaran Islam yang dipahaminya.

Re-Islamisasi or Repolitisasi: Islam di Bima 2000-2010
Pasca kejatuhan Orde Baru telah membuka Jalan bagi sejumlah gerakan Islam untuk mengembangkan aktivismenya yang selama rezim sebelumnya dibatasi ruang gerakrya. proyeks re­-Islamisasi menjadi pilihan sejumlah daerah di Indonesia, di Bulukumba (Sulsel) dianggap daerah yang sukses melakukan Islamisasi dengan lahirnya sejumlah Perda syariat, demikiar pula dengan sejumlah daerah lainya di Jawa Barat dan daerah-daerah lainnya. Sejalan dengan itu, gerakan revivalisme Islam tumbuh dan berkembang, mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah, termasuk di dana Mbojo.
Keinginan untuk melakukan reformasi terhadap nilai-nilai lama sudah menjadi harapan umum warga, masyarakat Bima menghendaki perubahan mendasar pada level sistem dan struktur politik, khususnya sistem yang tidak mecerminkan nilai-nilai etis Islam. Keinginan untuk mengganti sistem lama yang sekuler dengan sistem baru yang Islami (nizam islami) atau Islam sebagai alternatif (al-islam ka badil) Islam adalah solusi (al-islam huwa al-hall) atau syariat sebagai solusi krisis yang sudah tertanam kuat di sebagian aktivis gerakan Islam politik.
Pada ruang inilah spirit untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Bima dikonseptualisasi dan diorganisir menjadi agenda politik yang akan diperjuangkan. Bagi para aktor gerakan Islam memandang dana Mbojo telah kehilangan identitasnya sebagai masyarakat yang religius, bahkan warisan intelektual dari proyek Islamisasi pra kemerdekaan nyaris hilang oleh arus modernisasi dan globalisasi yang begitu massif terjadi belakangan ini. Sehingga ruang publik (public sphere) yang tadinya diisi dengan aktivitas yang positif bergeser dengan aktivitas yang tidak saja merugikan, tetapi justru menunjukkan identitas lokal Bima telah hilang, sebagian kaum muda telah terjerumus ke dalam budaya permisif, hedonisme dan konsumerisme. Ini kerugian yang sangat besar, kalau tidak segera disadari oleh elite Mbojo, baik elite politik, elite agama, intelektual dan budayawan atau pun dou matua.
Untuk merespons keadaan yang bergeser secara massif tersebut, para aktivis gerakan Islam seperti Nurfarhaty, Sathur Ahmad, Ichwan Syamsuddin dan tentu saja mereka yang berkecimpung dalam orgonisasi gerakan menjadi tumpuan harapan untuk menggalang kembali gerakan kebangkitan (revivalisme) islam di bima. Apa yang kita maksudkan dengan gerakan revivalisme Islam itu adalah gerakan untuk mengajak untuk kembali kepada nilai-nilai otentik islam. Menurut Dekmejian kebangkitan Islam menggambarkan tingginya kesadaran Islam di kalangan umat Islam, bentuk Islam yang merakyat ini ditunjukkan dengan menyebarnya masyarakat yang dipenuhi kebajikan dan persaudaraan dan ketaatan yang mencolok untuk mempraktekkan ajaran-ajaran Islam. Dalam aktivisme keagamaan selalu melibatkan kelompok Islam militan. Kelompok militan memiliki kesadaran politik tinggi, bermusuhan dengan negara sekular dan aparat pemerintah. Antara gerakan revivalis Islam dengan kelompok militan memiliki hubungan simbiotik dimana kelompok militan akan mudah melakukan rekruitmen anggota-anggota baru, dan mudah pula bersembunyi di balik gerakan kebangkitan islam ketika berkonfrontasi dengan penguasa. Tidak heran kalau dikatakan bahwa gerakan revivalis Islam dianggap sebagai suatu rangkaian kesatuan yang dinamis antara spiritualisme pasif-apolitis dengan militansi dan radikalisme.(8)
Kaum pergerakan di Bima memiliki orientasi politik yang sama yakni mewujudkan kehidupan masyarakat Bima yang religius. Saya melihat kaum pergerakan di dana Mbojo dapat dimasukkan ke dalam apa yang disebut Oliver Roy dengan Islamism dan neo-fundamentalis, Roy menyebut Islamism sebagai paham keagamaan Islam kontemporer yang memandang bahwa Islam adalah ideologi politik (Islamis as a political ideology) lebih dari sekedar agama sebagaimana pandangan yang berkembang di dalam masyarakat Barat(9). Sedangkan John L Esposito menyebutnya dengan upaya kembali kepada kepercayaan fundamental Islam, dalam seluruh aktivitasnya, kaum revivalis-fundamentalis mendasarkan segala aktivitasnya pada pemahaman al-Qur'an dari Sunnah secara literal. Gerakan revivalis Islam menurut Esposito tidak identik dengan ekstremisme, fanatisme, aktivisme politik, terorisme dan anti-Amerika. Karma itu Esposito lebih memilih menggunakan Islamic revivalism atau aktivisme Islam, untuk menggambarkan gerakan kebangkitan Islam kontemporer, karena terma ini dianggap memiliki akan tradisi Islam.(10)
Kita melihat gerakan kaum muda Muslim Mbojo dewaso ini termasuk dalam definisi gerakan revivalis model Esposito, mereka memiliki keinginan k.uat untuk mengajak masyarakat kembali kepada nilai-nilai otentik Islam, hanya dengan kembali mengamalkan nilai-nilai otentik Islam itulan menurut para aktor yang mempejuangkannya, dana Mbojo dapat bangkit, karena Islam sudah menjadi batu bata yang menjadi landasan masyarakat Mbojo. Dalam pesisi inilah saya melihat peluang politik terbuka luas pasca kejatuhan Orde Baru 1998, tidak laima berselang di Bima terjadi suksesi kepemimpinan daerah, kalau selama beberapa decade, Bima selalu di pimpin oleh "kolonial" dari bangsa lain, maka momentum suksesi 2000 itulah peluang untuk membangun kembali Bima. Meski bukan yang paling baik yang terpilih sebagai Bupati, tetapi semua warga memiliki optimisme yang tinggi untuk membumikan kembali nilai-nilai Islam, mulai dari struktur kekuasaan sampai ke jantung masyarakat dan pelosok-pedalaman.
Itulah sebabnya, masa depan dana Mbojo akan ditentukan oleh kebijakan-kebijakan Starategis yang diambil oleh pemerintah berkuasa. Kebijakan dengan pendekatan sosio-kultural harus dikedepankan bila dibandingkan dengan kebijakan yang hanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan administratif- birokratis. Kesejahteraan dan kemajuan hanya menjadi "mimpi" bagi masyarakat, kalau para pemimpinnya tidak sungguh-sungguh merealisasikan janji mensejahterakan rakyat, sebab kalau tidak, isu kemiskinan dan kesejahteraan akan menjadi alat politisi untuk memanipulasi dukungan rakyat yang akan dipergunakan oleh elite-elite yang mau berkuasa untuk mencari simpati masyarakat, meski dalam hati yang paling dalam, elite politik yang menjual isu kesejahteraan, memberantas kemiskinan dan kemajuan tidak memiliki kapasitas, konsep, dan kemauan untuk memajukan daerah Mbojo.
Kita semua ingat, ketika Zainul Arifin terpilih sebagai Bupati Bima pada tahun 2000, semua masyarakat Bima menaruh harapan besar agar Bupati yang berasal dari putra asli Bima tersebut meletakkan dasar praktek politik di Bima yang member harapan bagi konstruksi Bima yang lebih maju dan mensejahterakan rakyatnya yang berlandaskan nillai-nilai etis agama. Sebagian harapan masyarakat pada periode awal kepennimpinan Bima pasca reformasi, telah memberikan perhatian pada rumusan-rumusan peraturan daerah (Perda) yang mencerminkan nilai-nilai religius dalam masyarakat Bima. Terdapat sejumlah Perda yang disahkan pada periode tersebut yaitu Perda Jum'at Khusu', Perda Pelacuran, Perda Kemaksiatan dan Minuman Keras dan berbagai Perda yang membuka ruang bagi konstruksi masyarakat Bima yang religius.
Semboyang yang digaungkan pada periode tersebut adalah BIMA IKHLAS, konsep tersebut sepenuhnya diambil dari teks Islam (Qur'an). Diatas kertas, gagasan Islamisasi masyarakat dengan pendekatan struktural tidak ada yang salah dan semua masyarakat memberikan dukungannya, karena itulah masyarakat Bima mengharapkan agar kebijakan politik tersebut dapat dilaksanakan, tidak hanya berlaku untuk rakyat, tetapi berlaku semua bagi dou Mbojo dan siapa saja yang berdomisili di Bima termasuk elite-elite berkuasa.
Gagasan Islamisasi tersebut direspons dengan baik oleh masyarakat, gerakan-gerakan sosial Islam yang telah lama memperjuangkan Islamisasi dengan pendekatan kultural menganggap kebijakan tersebut membantu mereka untuk membumikan nlai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat. Proyek Islamisasi berlangsung pada dua ranah yaitu pada ranah politik struktural dan pada ranah kultural dengan mengintensifkan program pemberdayaan dan penguatan dengan nilai-nilai Islam, khususnya yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam. Intensifnya aktivitas Islam yang dilakukan oleh pemerintah dan juga yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam telah memberi optimisme yang kuat di kalangan warga masyarakat secara meluas, karena itu, pemerintahan Zainul pada awalnya memperoleh sambutan dan antusiasme warga yang begitu luas, karena proyek Islamisasi yang diusungnya.
Apakah langkah Islamisasi Zainul pasca Orde Baru tersebut berhasil? Sekali lagi diatas kertas konsep-konsep Islamisasi yang dirintisnya sangat menarik untuk diteruskan, namun dalam tempo dua tahun berkuasa, pemerintahan Zainul kehilangan orientasi, entah ada motif-motif politik tertentu atau tidak, yang pasti sebagian bangunan Islamisasi yang dirumuskan pemerintah dengan pendekatan strukturalnya, justru mereka sendirilah yang melanggarkan, inilah aural delegitimasi kekuasaan Zainul. Ia tidak konsisten dengan gagasannya sendiri, masyarakat punya hak politik untuk melegifimasi atau mendelegitimasi kekuasaan siapa saja, akibatnya pada Pilkada Juni 2005, Zainul dengan sangat telah kalah dari Ferry Zulkarnaen. Padahal prediksi sejumlah pengamat dari lembaga survei, Zainul masih berpeluang besar memenangi Pilkada 2005.
Kemenangan Ferry tidak terlepas dari kegagalan Zainul dalam merealisasikan gagasan politiknya, selain itu, warga memiliki harapan yang besar terhadap kepemimpinan Ferry (Putra Mahkota [Raja Bima]) untuk merevitaiisasi konsep Islamisasi Zainul. Pada awal kekuasaannya, Ferry juga mengusung ide membumikan al-Qur'an atau bahkan proyek Bima Qur'ani, suatu konsep yang sangat baik, tentu warga Mbojo tidak punya alasan menolak gagasan tersebut. Pertanyaannya apakah gagasan Bima Qur'ani yang digagas Ferry lima tahun yang lalu terwujud atau minimal ada tanda bahwa proyek itu benar-benar digarap? Ataukah itu hanya politisasi Islam untuk kepentingan kekuasaan? Apakah tingkah laku penguasa selama lima tahun terakhir ini mengarah kepada konstruksi Bima yang religius atau Bima yang lebih maju?

Dana Mbojo: Mungkinkah Dou Mbojo Sejahtera?
Dengan menggunakan pendekatan ilmu- ilmu sosial dan pendekatan keterlibatan, maka masyarakat merupakan suatu struktur yang kait mengait dan penekanan pada konsensus, stabilitas, integrasi dan hubungan fungsional antar berbagai komponen dalam masyarakat tersebut. Setiap individu dalam masyarakat mengintegrasikan diri dengan sistem dan struktur yang ada, proses integrasi ini mengindikasikan adanya stabilitas yang didasarkan pada keharusan fungsional ataupun berdasarkan konsensus nilai-nilai yang disepakati bersama.
Dengan pendekatan ini, perubahan akan sulit terjadi, karena pendekatan ini mendukung kemapanan dan status quo, mereka yang sudah terlanjur hidup sulit dan miskin akan "dipelihara" untuk tetap terus-menerus miskin, sementara yang kaya dan elite akan terus-menerus menjadi elite dan kaya. Adanya dua kelas sosial menurut perspektif Marxis menunjukkan adanya kelas yang selain memperoleh manfaat dan keuntungan dari apa saja yang terjadi dalam masyarakat sementara kelas bawah atau proletariat akan terus menjadi kelas tertindas. Proses tindas-menindas ini berlangsung dalam sejumlah konteks dan kebijakan sehingga visi membangun masyarakat yang beradab, maju dan masyarakat sejahtera hanya ada dalam wilayah ide dan gagasan (utopia) dan tidak menjadi pemandu gerakan masyarakat, elite Mbojo hanya fokus memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya.
Gagasan menciptakari masyarakat damai dan sejahtera dalam konteks Bima harus dibaca dalam perspektif kritis, bahwa ide dan gagasan itu harus kita respons sebagai suatu gagasan yang baik, tetapi harus segera kita koreksi dan kritik secara konstruktif proses manipulasi masyarakat yang dilakukan oleh elite-elite berkuasa. Dalam kasus konflik Ngali-Renda, dengan sangat baik menunjukkan bahwa elite-elite berkuasa tidak memiliki konsep dan gagasan yang realistik menciptakan keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, untuk merespons dan menyikapi konflik antar desa yang kecil seperti itu, elite berkuasa tidak tegas, tidak jelas dan bahkan dituduh oleh sebagian masyarakat sebagai yang sengaja diciptakan untuk suatu cause yang bagi elit berkuasa akan bernilai politis dikemudian hari.
Dalam seouluh tahun terakhir (2000-2010) elite berkuasa di Bima tidak merniliki agenda politik yang jelas, terarah dan terukur untuk menciptakan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera. Banyak elite politik yang pandai mengumbar program dan janji politik, tetapi ketika mereka berkuasa – masyarakat menuntut program dan janjinya untuk segera direalisasikan, elite berkuasa memiliki dalih dan alasan yang sangat beragam untuk menunda atau bahkan mengabaikan sejumlah janji dan programnya. Pada tingkat ini, kita akan mengatakan bahwa elite politik di dana Mbojo tidak memiliki itikad baik untuk membangun daerah, program dan janjinya, mereka hanya memanfaatkan rakyat untuk memenuhi ambisi politiknya. Dalam sepuluh tahun terahir ini, kita menyaksikan politik manipulasi kaum elite terhadap rakyatnya terjadi dengan begitu baik di Bima.
Politisi yang mencari kekuasaan di Bima, insya Allah pada 2010 ini akan banyak, mereka yang berminat ingin menjadi pejabat akan mengumbar janji baik untuk membangun dana Mbojo, kita semua tidak perlu apriori atau skeptis terhadap gagasan, program atau pun visi-misi para politisi yang mencari kekuasaan tersebut, tetapi kita harus menguji program tersebut, apakah programnya realistis atau tidak untuk direalisasikan di Bima? Ataukah program, visi dan misinya hanya "topeng" untuk menipu rakyat Bima? Selain itu, kita juga harus melihat latar belakang dan jejam rekamnya, apakah sang politisi punya prestasi apa untuk merealisasikan programnya. kalau tidak memiliki prestasi apa-apa, maka kita harus waspada terhadap elite tersebut.
Hal penting lain dalam memilih pemimpin adalah memerhatikan kepribadian sang calon, apakah ketika secara berapi-api berbicara tentang masyarakat religius, membangun Bima yang maju, sejahtera, aman, damai dan seterusnya, tetapi dalam diri sang calon tidak menunjukkan sama sekali gagasan kebaikan itu, maka ini kedok saja untuk memperoleh kekuasaan. Apalagi mereka yang sudah pernah berkuasa, berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama berkuasa, maka itu kedok saja, tokh waktu diberi kesempatan tidak pernah dipergunakan untuk membangun dan mensejahterakan rakyat.
Menurut hemat saya, baru bisa kita berbicara tentang kedamaian, keamanan dan kesejahteraan bagi masyarakat Bima, yang perlu dibereskan terlebih dahulu adalah politisi yang sakit jiwa, politisi yang tidak memiliki kapasitas untuk memimpin, menyingkirkan politisi yang suka berbohong, berjanji bohong, suka menipu warganya sendiri dan berbagai jenis politisi busuk dan politisi bermasalah, hanya dengan cara demikian kita baru bisa berbicara dengan baik bagaimana merekonstruksi masyarakat damai dan sejahtera.
Politisi dewasa ini termasuk di Bima secara umum dan pimpinan masyarakat secara pribadi sudah tidak jujur, secara pribadi meeka pun mengidap penyakit korup. Politisi di Bima secara umum hanya mengedepankan pamrih pribadinya dan bukan pamrih politiknya, mereka hanya berorientasi pada memperkaya diri, tidak memikirkan rakyatnya, dengan demikian mereka juga akan mempergunakan segala cara untuk memenuhi ambisi pribadinya, karena itu, politik dalam masyarakat Bima telah merosot menjadi bisnis untuk memperkaya diri dan keluarganya. Politisi di Bima telah terjebak dalam suatu permainan yang menjerumuskan diri para politisi sehingga jatuh ke dalam bisnis politik yang kotor, ia mengotori tangannya demi kekuasaan politik, demi partainya, demi untuk memenangkan suatu cause, juga sekaligus mengotori dirinya sendiri, hanya pamrih kekayaan, kekuasaan dan memperkaya dirinya sendiri.
Politisi di Bima tidak banyak yang memikirkan kepentingan kolektif, mereka telah terjebak pada orientasi yang bersifat sempit, lebih sempit lagi mereka terjebak pada pengejaran kepentingan pribadi dan kelompoknya dan tidak lagi secara moral dan politik memenuhi amanah rakyat yang diwakilinya untuk memperjuangkan kesejahteraan dan keamanannya. Bahkan politisi untuk memenuhi ambisinya, membiarkan konflik, kekerasan dan penderitaan rakyat untuk kepentingan politiknya. Bahkan kemiskinan sengaja dibiarkan tetap ada, karena isu kemiskinan "seksi" untuk dijual ke masyarakat.
Kesejahteraan yang diharapkan oleh masyarakat Bima selama ini tampaknya akan sulit terpenuhi dengan komposisi elite berkuasa saat ini, mereka yang berkuasa tidak memiliki agenda aksi konkret untuk merealisasikan program kesejahteraan rakyat. Proyek sosial yang diluncurkan elite hanya sekedar "pemanis" somata, tidak memiliki landasan sosio-politik dan kultural yang kuat. Perilaku politisi di Bima dewasa ini tidak lagi mencerminkan nilai-nilai Mbojo seperti yang termuat dalam maja labo dahu atau kasabua nggahi ro rawi, ini sebenarnya memiliki filosofi yang tinggi, kalau sekiranya politisi di Bima memahami dengan baik. Masihkah layak masyarakat Bima mempertahankan kekuasaan saat ini? Apakah "impian" untuk menuju masyarakat yang sehat, damai dan sejahtera dapat direalisasikan dengan mempertahankan kekuasaan saat ini? Untuk menjawahnya sederhana saja, kita kembalikan kepada masyarakat Bima. Tapi bagi masyarakat Belo Selatan (Kec. Belo – Ngali-Renda-Monta-Soki­-Ncera), mungkin menyebut pemerintahan gagal menangani konflik horisontal yang terjadi, tidak hanya merusak hubungan sosial, tetapi juga menelan korban jiwa.!!!!

Agenda dan Prioritas Bagi Pembangunan Mbojo
Dengan memahami kondisi sosio-politik masyarakat Bima yang semakin tak menentu arah masa depan, apakah mungkin membentuk masyarakat religius sebagaimana yang sudah membudaya atau menggantinya dengan budaya baru yang serba tak jelas modelnya? Namun yang pasti harus segera dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif dou Mbojo untuk merekonstruksi nilai-nilai kultur masyarakat sebagai identitas sosial politiknya yang berbeda dengan identitas politik masyarakat lainnya.
Para politisi di Bima harus segera berbenah diri dan perlahan-lahan menyingkirkan agenda politik pribadi dan kelompoknya, segera merumuskan agenda dan program bagi konstruksi Bima yang religius atau khairah ummah. Para elite dan rakyat memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara, melangsungkan dan menyempurnakan segala hal yang dianggap kurang dalam membangun Bima. Elite dan rakyat harus secara sungguh-sungguh melakukan pendidikan politik untuk menyadarkan rakyat agar mereka dapat memahami betapa penting mengutamakan kepentingan kolektif daripada kepentingan partikular dan parsial yang selama ini dirumuskan dan diperjuangkan. Konflik yang terjadi di Ngali-Renda pada dasarnya rendahnya kesadaran warga mengenai perlunya membangun kohesi sosial.
Dengan meminjam teori ashobiyah Ibn Khaldun bahwa kohesi sosial akan dapat dibangun apabila elite dapat berperan sebagai pihak yang layak didengar warganya, syarat elite agar berperan efektif dalam masyarakat yakni sang elite harus menyatu antara ucapan dengan perbuatan, bersikap takabur, sombong dan angkuh tentu tidak banyak membantu, apalagi sang elite sering berkata dusta, tidak jujur dan mengabaikan janji-janjinya kepada rakyatnya.

Waffahu a'lam bi shawab


Catatan kaki :
(1)Makalah disampaikan pada acara Pelantikan Pengurus Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (Kepma) Bima Yogyakarta yang dirangkaikan dengan Diskusi Terbuka pada tanggal 24 Januari 2010 di Yogyakarta
(2)Salah satu mahasiswa yang ikut diskusi terbuka dalam pelantikan Pengurus Keluarga Pelajar dan Mahasiswa (Kepma) Bima Yogyakarta yang dirangkaikan dengan Diskusi Terbuka pada tanggal 24 Januari 2010 di Yogyakarta.
(3)Dosen Program Studi Sosiologi. Fakultas Elmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga; Menvelesaikan Doktor Ilmu Politik pada Sekolah Pascasariana UGM.
(4)Lihat misalnya Syarifuddin Jurdi. Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima (Yogyakarta: CNBS, 2007)
(5)Lihat Penjelasan mengenai Penang Ngali, perang Kalla, Dena dan Rasanggaro dalam Syarifuddin Jurdi, Op. Cit.. khususnya bab terakhir yang membahas tentang Desa dan Ruang Partisipasi warga.
(6)Sejak akhir dekade 1940-an, Soekarno hanya menjadi simbol saja, karena ia tidak langsung memimpin pemerintahan, ia hanya kepala Negara, sementara yang memimpin pemerintahan adalah Perdana Menteri yang dibentuknya sendiri, sejak dekrit dikeluarkan, maka posisi Soekarno tidak hanya sebagai kepada Negara, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan.
(7)Mahkamah Syariah pada masa Orde Baru berubah menjadi lembaga kultural dan tidak lagi berkaitan secara langsung dengan kekuasaan, lembaga tersebut hanya mengurusi kegiatan dakwah Islam, meresmikan para Lebe Na'E di sejumlah Desa, mengatur hak-hak Lebe Na'E seperti tanah bengkok dll. Wawancara dengan Muma (KH. Abdul Ghany Masjkur) di kediaman beliau di Bima pada 30 Desember 2007.
(8)Shiren T. Hunter, Politik Kebangkilan Islam Keagamaan dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat (Yogyakarta: Tiara Wacana. 2001). hlm. 3
(9)Oliver Roy. The Failure of Political Islam (London: I.B. Turis Publishers, 1994), him. ix
(10)John L. Esposito, "The Islamic Threat Myth or Reality (Oxford Oxford University Press, 1192), hlm.7-8


Daftar Bacaan :
Esposito, John L., 1992, The Islamic Threat Myth or Reality Oxford: Oxford University Press
Hunter, Shireen T., 2001, Politik Kebangkitan Islam Keagamaan dan Kesatuan, terj. Ajat Sudrajat Yogyakarta: Tiara Wacana
Jurdi, Syarifuddin, 2007, Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima, Yogyakarta, CNBS
Kuntowijoyo, 1994, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, Yogyakarta, Shalahuddin Press & Pustaka Pelajar Magnis-Suseno, Frans, 1994, Filsafat Kebudayaan Politik., Jakarta, Gramedia
Mulkhan, Abdul Munir, 1994, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Yogyakarta, Sipres.
Roy, Oliver, 1994, The Failure of Political Islam London: I.B. Turis Publishers, 1994
Selengkapnya

SEJARAH KERAJAAN BIMA MBOJO

Oleh Jamil

A.Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
1.Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara. Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
2.Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara.
3.Setelah puluhan tahun berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala ­ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.

B.Kerajaan Dana Mbojo Berdiri Pada Pertengahan Abad 11 M.
1.Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.


2.Nama Kerajaan.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11 M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima sudah menjadi nama daerah bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan Bugis.
Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro'o Salunga di wilayah Kecamatan Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang. Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro'o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa (orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).

C.Masa Pertumbuhan
Setelah dilantik menjadi Sangaji atau raja, Indra Zamrud berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh memajukan kerajaannya. Dalam membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para ncuhi. Terutama ncuhi Dara, ncuhi Parewa, ncuhi Doro Woni, ncuhi Bolo dan ncuhi Bangga Pupa.
Mungkin ada diantara kita yang bertanya. Apakah pada masa Inda Jamrud belum ada perdana menteri dan pejabat lain ?. Ahli sejarah belum menemukan bukti atau keterangan tertulis, tentang adanya pejabat seperti -perdana menteri dan pejabat lain pada masa Indra Zamrud.
Jabatan seperti tureli Nggampo atau Ruma bicara (perdana menteri), ireli (menteri), Rato, Jeneli, Gelarang dan jabatan lain, mulai populer pada masa sangaji Manggampo Donggo ( sangaji ke 10). Pada masa itu, ada Tureli Nggampo atau Ruma Bicara yang terkenal, bernarna Bilmana kakak dari sangaji Manggampo Donggo.
Sebagai sangaji yang baru di tuna ro lanti, maka Indra Zamrud melakukan pembangunan dalam berbagai bidang, seperti antara lain:
1.Bidang agama/kepercayaan.
Biarpun pengaruh kerajaan Medang (Jawa Timur) amat besar, namun Indra Zamrud tidak memaksakan rakyatnya menganut agama Hindu, seperti agama yang dianut oleh kerajaan Medang.
Rakyat tetap menganut kepercayaan makamba makimbi. Para ncuhi berfungsi sebagai peminipin agama. Sangaji bersama rakyat terus mengamalkan falsafah dan pandangan hidup lama.
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Indra Zamrud tetap berdasarkan falsafah maja labo dahu, serta asas mbolo ro dampa dan karawi kaboju. Sangaji harus berperan sebagai hawo ro ninu atau pengayom dan pelindung rakyat. Dalam membangun negeri, sangaji bersama rakyat harus tahan Uji dan ulet. Mereka harus pantang menyerah, sesuai dengan falsafah "Su'u sa wa'u sia sa wale" (walau bagaimana berat tugas yang dijunjung dan dipikul, rakyat harus melaksanakanilya).
2.Bidang Ekonomi.
Indra Zamrud berusalia keras meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Guna mewujudkan cita-cita, ia giat memajukan pertanian, peternakan serta pelayaran dan perniagaan.
Hasil pertanian dan peternakan kian bertambah. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyat meningkat. Bahaya kemiskinan dan kelaparan tidak terjadi.

Dibidang pelayaran dan perniagaan mengalami hal yang sama. Pelayaran dan perniagaan bertambah maju. Pelabuhan Mbojo ramai dikunjungi para pedagang dan musafir, dari berbagai penjuru Nusantara. Mereka datang membeli hasil bumi Dana Mbojo, seperti kuda, kerbau, kayu kuning, kayu sopang, rotan dll. Selain menjual hasil buminya, rakyat dapat pula membeli berbagai jenis barang dari para pedagang dan musafir. Berbagai hasil pertukangan atau industri yang indah dan mahal, mereka beli dari para pedagang yang datang ke Dana Mbojo. Barang-barang yang mereka beli antara lain, berbagai jenis keramik, perhiasan dari emas, Perak, kain sutera dan berbagai jenis senjata.

Indra Zamrud dengan bantuan para ncuhi dan dukungan rakyat, telah berhasil meletakkan dasar yang kokoh bagi kehidupan kerajaan. Setelah ia wafat, perjuangannya diteruskan oleh anak cucunya. Sangaji Batara Indra Bima, Batara Sang Luka, Batara Bima, serta Maha Raja Indra Terati melanjutkan perjuangan Indra Zamrud, dalam membangun dou labo dana (rakyat dan negeri).
Kapan Indra Zamrud wafat, tidak dapat diketahui dengan pasti. Walau demikian, ia telah berhasil meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan kerajaan. Pada masa itu kerajaan Mbojo, bagaikan sebatang pohon yang bukan dalam keadaan ncuhi atau ncuri. Melainkan sudah tumbuh tegar berbatang dan berakar kuat, berdaun dan beranting yang indang dan rimbun.

D.Kerajaan Mengalami Kejayaan.
Pada masa pemerintahan sangaji Manggampo Jawa, di sekitar abad 14 M, kerajaan Mbojo Bima mengalami kemajuan yang amat pesat. Manggampo Jawa adalah putra sangaji Indra Terati dengan permaisuri yang berasal dari bangsawan Majapahit. Itulah sebabnya Manggampo Jawa menjalin kerja sama dengan Majapahit dalam membangun kerajaan.
Dalam rangka meningkatkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Manggampo Jawa mendatangkan para ahli dari Majapahit, dibawah pimpinan Ajar Panuli.
Ajar Panuli dan kawan-kawannya, mengajarkan sastra jawa kepada para pembesar istana dan rakyat. Mulai saat itu, rakyat mengenal tulisan, Menurut ahli sejarah, pada masa itu pula sangaji Manggampo Jawa, merintis penulisan naskah kuno yang bernama "bo". Sayang naskah kuno bo yang ditulis pada masa Manggampo Jawa, sudah tidak ada lagi. Bo yang merupakan sumber sejarah yang masih ada sekarang, berasal dari bo yang ditulis pada masa kesultanan.
Selain berjasa dalam bidang sastra. Ajar Panuli berhasil memajukan ilmu teknologi. Ia mengajarkan cara pembuatan batu bata dan pembuatan keris serta tombak.
Pada masa pemerintahan Batara Indra Luka putra Manggampo Jawa, hubungan dengan Majapahit masih terjalin dengan intim. Begitu pula pada masa pemerintahan sangaji Maha Raja Indra Seri, putra dari Batara Indra Luka.
Ketika pemerintahan sangaji Ma Wa'a Paju Longge, putera dari Maha Raja a Indra Seri, hubungan dengan Majapahit terputus. Sebab pada saat itu Majapahit sudah mengalami kemunduran. Karena terjadi perang saudara yang berkepanjangan, setelah wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364.
Ma Wa'a Paju Longge yang, memerintah di sekitar abad 15 M, meningkatkan hubungan dengan kerajaan Gowa. Pada saat itu kerajaan Gowa, sedang berada dalam jaman kejayaan, di bawah raja Imario Gau Tumi Palangga.
Ma Wa'a Paju Longge pergi ke Gowa untuk mempelajari ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu yang lain. Kemudian ia mengirim dua orang saudaranya, yang bernama Bilmana dan Manggampo Donggo ke Gowa.
Sejak itu sistim politik pemerintahan, pertanian, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan, mengikuti sistim yang berlaku di Gowa. Seni budaya Gowa ikut pula mempengaruhi seni budaya Mbojo Bima.
Setelah sangaji Ma Wa'a Paju Longge mangkat, ada satu peristiwa yang menarik untuk dijadikan contoh bagi generasi muda.
Menurut ketentuan yang berlaku, apabila sangaji yang mangkat tidak mempunyai putera, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang tertua. Ketentuan itu terpaksa dilanggar oleh Bilmana dan Manggampo Donggo.
Dengan penuh keikhlasan, Bilmana menyerahkan jabatan sangaji kepada adiknya Manggampo Donggo. Ia sendiri memegang jabatan Tureli Nggampo (perdana menteri). Hal ini dilakukan demi rakyat dan negeri. Karena Manggampo Donggo memiliki bakat dan keahlian untuk menjadi sangaji. Sedangkan Bilmana cocok untuk menjadi Tureli Nggampo. Kebijaksanaan ini diperkuat dengan sumpah yang bernama sumpah Bilmana dan Manggampo Donggo. Sejak itu keturunan Manggampo Donggo menjadi raja dan sultan. Sebaliknya, anak cucu Bilmana menjadi Tureli Nggampo atau Ruma Bicara.
Manggampo Donggo bersama Bilmana, bahu membahu membangun kerajaan. Mereka berjuang tanpa kenal menyerah.
Pertanian dan peternakan dikembangkan. Daerah pertanian dan peternakan diperluas. Keduanya mencetak sawah-sawah baru yang subur. Sebagian sawah untuk kepentingan kerajaan dan sebagian untuk rakyat. Daerah yang tidak cocok untuk pertanian, dijadikan daerah peternakan.
Sistim pemerintahan, disempurnakan dan disesuaikan dengan sistim yang berlaku di kerajaan Gowa. Selain sangaji dan Tureli Nggampo, diangkat pula tureli (menteri), jeneli (camat), gelara (kepada desa).
Pelayaran dan perniagaan pun berkembang dengan pesat. Kapal dan perahu ditingkatkan jumlah dan mutunya. Mengikuti ilmu pelayaran dan perniagaan kerajaan Gowa.
Keamanan kerajaan ditingkatkan pula. Angkatan Darat dan Laut diperbaharui. Panglima perang dipegang oleh Bumi Renda, yang merangkap sebagai panglima angkatan darat. Angkatan laut dipimpin oleh seorang laksamana yang disebut Pabise.
Usaha yang dilakukan oleh dua bersaudara, berhasil dengan sukses. Sehingga pada akhir abad 15, kerajaan Mbojo menjadi pusat perniagaan yang ramai di wilayah Nusantara bagian Timur, selain Gowa dan Ternate. Pada saat itu, kerajaan Mbojo menjadi gudang beras selain Lombok.
Perkembangan dalam bidang sastra dan seni budaya pun cukup cerah. Manggampo Donggo memperkenalkan aksara yang dipelajari dari Gowa. Aksara itu akhirnya menjadi aksara Mbojo.
Manggampo Donggo melanjutkan penulisan Bo dengan aksara Mbojo.
Seni budaya dari Gowa, dipelajari dan dikembangkan ditengah masyarakat. Sehingga lahir seni budaya Mbojo, yang banyak persamaan dengan seni budaya Makasar dan Bugis.
Wilayah kekuasaan kerajaan Mbojo Bima, terbentang luas dari P. Satonda di sebelah barat sampai ke Alor Solor di sebelah Timur. Perluasan wilayah dilakukan oleh La Mbila putera Bilmana.
Kejayaan kerajaan Mbojo Bima, terus bertahan sampai pada sangaji Ma Wa'a Ndapa mangkat, putera Manggampo Donggo disekitar abad 16 M.

E.Kerajaan Mbojo Bima Mengalami Kemunduran.
Setelah sangaji Ma Wa'a Ndapa mangkat, maka cahaya kejayaan kerajaan mulai redup dan akhirnya padam.
Pasti ada dikalangan generasi muda yang bertanya keheranan. Kenapa terjadi petaka di kerajaan yang jaya dan besar itu ?. Apakah karena diserang oleh musuh dari luar atau karena ada pemimpin dan rakyat yang berkhianat ?.
Timbulnya petaka bukan karena serangan musuh dari luar, tetapi karena ada musuh dalam selimut. Salah seorang putera raja Ma Wa'a Ndapa yang bernama Salisi berkhianat kepada don labo dana (rakyat dan negeri). Ia berambisi menjadi Sangaji. Untuk mewujudkan ambisinya, Salisi membunuh Sangaji Samara kakaknya sendiri. Kemudian, ia membunuh Jena Teke (putera mahkota ) di padang perburuan mpori Wera.
Walau demikian Salisi tidak berhasil mewujudkan cita-citanya. Majelis Hadat bersama seluruh rakyat mengangkat Sawo (Asi Sawo) menjadi Sangaji. Salisi bertambah kecewa, ia menunggu waktu yang tepat guna mewujudkan cita-citanya.
Pada masa pemerintahan Sangaji Asi Sawo, untuk sementara waktu Salisi berdiam diri, guna menyusun kekuatan. Pada tahun 1605, Salisi menjalin kerja sama dengan Belanda di pelabuhan Ncake (wilayah desa Roka Kecamatan belo / Pali Belo sekarang). Kerja sama itu dinyatakan dalam satu perjanjian yang disebut perjanjian Ncake.
Saat yang dinanti-nanti oleh Salisi tiba. Ketika Sangaji Asi Sawo mangkat, Salisi berusaha untuk membunuh putera Asi Sawo yang bernama La Ka'i, yang sudah diangkat oleh Majelis Hadat sebagai Jena Teke.
Suasana istana dan seluruh negeri kembali kacau. La Ka'i bersama pengikut Iari meninggalkan istana. Pergi bersembunyi di desa Teke (Kecamatan Belo / Pali Belo sekarang), kemudian pindah ke dusun Kalodu yang berada di tengah hutan belantara.
Dengan bantuan Belanda, untuk sementara Salisi berhasil menguasai istana. Kemarahan dan kebencian rakyat kepada Salisi kian berkobar. Mereka terus menyusun kekuatan untuk mengembalikan La Ka’i ke tahta kerajaan.
Akibat ulah Salisi, akhirnya kerajaan Mbojo Bima mundur dan kacau. Rakyat menderita lahir bathin. Perjuangan seluruh sangaji dan rakyat pada masa lalu dikhianati Salisi yang bekerja sama dengan Belanda.

F.Pengaruh Agama Hindu di Kerajaan Mbojo Bima.
Sampai sekarang belum ada bukti, bahwa masyarakat pada masa kerajaan menganut agama Hindu. Kendati pada masa kerajaan, hubungan Mbojo Bima dengan kerajaan Medang, Kediri, Singosari dan Majapahit amat intim, namun masyarakat tidak merubah kepercayaannya.
Selama berlangsungnya hubungan dengan kerajaan di Jawa, sangaji dan rakyat hanya berguru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang agama mereka tetap menganut kepercayaan makamba makimba.
Kepercayaan makamba makimbi baru ditinggalkan oleh sangaji dan seluruh masyarakat setelah datangnya pengaruh agama Islam. Terutama setelah berdirinya kesultanan pada tahun 1640 M. Itulah sebabnya, maka agama Hindu tidak berpengaruh dikalangan masyarakat Mbojo Bima.

Mungkin sampai di sini saja cerita singkat Sejarah Kerajaan Bima (Mbojo) karma ini hanya sebatas pengetahuan pnulis. Mungkin dengan adanya satu baris tulisan ini kita sedikit bias tahu bagaima sejarah Mbojo itu sendiri. Dan bagi teman teman-teman Mbojo yang lebih tahu bagaimana itu sejarah Mbojo dapat memberikan Kritik dan saran untuk penulis demi memperbaiki tulisan-tulisan artikel sejarah Mbojo yang akan datang.

Kalau mau tau profil lengkapku dapat juga dilihat fia E-Mail: jamil_monerangga@yahoo.com



Daftar Pustaka:
M. Hilir Ismail. 1996. Sejarah Mbojo Bima. Mataram: Agung Perdana.
Selengkapnya

PERDA BIMA NO. 8 TAHUN 2007

OLEH JAMIL

DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI BIMA,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 18 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah,
semua Peraturan Daerah yang mengatur Retribusi segera disesuaikan;
b. bahwa untuk menjamin transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 14 Tahun 2000
tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, perlu disesuaikan dengan
kondisi daerah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf
b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Retribusi Pemakaian
Kekayaan Daerah.
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerahdaerah
Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958
Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3685; sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000;
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 286);
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4355);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4389);
8. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4471);
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4437);
10. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan
Antara Pemerintahan pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4139);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005
Nomor , Tambahan Lembaran Negara Nomor );
14. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor , Tambahan Lembaran
Negara Nomor ;
15. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4737);
16. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan Pengundangan
dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan;
17. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 12 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Kabupaten Bima (Lembaran Daerah Tahun 2000 Nomor 2);
18. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 13 Tahun 2000 tentang Struktur
Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran daerah Kabupaten Bima Tahun
2001 Nomor 1);
19. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pokokpokok
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran
Daerah Tahun 2005 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 02);
20. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bima Tahun
2006-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Daerah Nomor 03);
21. Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 8 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bima Tahun
2006-2010 (Lembaran Daerah Tahun 2005 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Daerah Nomor 04); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Nomor 5 Tahun 2006
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BIMA
dan
BUPATI BIMA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RETRIBUSI PEMAKAIAN
KEKAYAAN DAERAH
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Kabupaten Bima;
b. Pemerintahan Daerah adalah penyelengaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintahan Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistim dan
prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai Unsur
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
d. Bupati adalah Bupati Bima;
e. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bima;
f. Retribusi Pemakaian kekayaan daerah yang selanjutnya disebut retribusi
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pelayanan yang
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau badan usaha yang memakai kekayaan daerah;
g. Badan adalah suatu Bentuk Badan Usaha yang meliputi Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah,
Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi, Yayasan atau
organisasi sejenisnya, Lembaga, Dana Pensiun, bentuk usaha tetap serta
bentuk usaha lainnya;
h. Retribusi Jasa Usaha adalah Retribusi atas jasa pelayanan yang disediakan
oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial;
i. Kekayaan Daerah adalah Kekayaan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah
baik yang diperoleh melalui bantuan maupun yang dibeli melalui APBD
Kabupaten Bima dan atau yang diserahkan bersamaan dengan penyerahan
urusan kepada daerah berupa tanah, bangunan, peralatan dan alat-alat berat;
j. Tanah adalah tanah yang dimiliki dan/ atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah
baik yang bersertifikat maupun yang belum bersertifikat;
k. Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanam atau yang diletakan atau
melayani dalam waktu lingkungan secara tetap sebagian, atau seluruhnya,
diatas atau dibawah permukaan tanah dan atau perairan yang berupa
bangunan, gedung dan atau bukan gedung;
l. Wajib Retribusi adalah Orang pribadi atau badan yang memperoleh jasa
pelayanan atau memakai kekayaan milik pemerintah daerah atau yang
disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah dan diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi atas jasa pelayanan yang diperoleh;
m. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas
waktu bagi wajib retribusi untuk memakai Kekayaan Milik pemerintah
Kabupaten Bima atau yang disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah
Kabupaten Bima;
n. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang disingkat SKRD adalah Surat
Keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
o. Surat Setoran Retribusi daerah yang selanjutnya disingkat SSRD adalah surat
yang oleh wajib retribusi digunakan untuk melakukan pembayaran atau
penyetoran retribusi yang terhutag ke Kas daerah atau ketempat pembayaran
lain yang ditetapkan oleh Bupati;
p. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang disingkat STRD adalah Surat
melakukan tagian retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan
atau denda;
q. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten Bima;
r. Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut penyidik untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana
dibidang retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya;
s. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari mengumpulkan,
mengolah data dan/ atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban retribusi dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang retribusi;
t. Pejabat adalah Pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang retribusi daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
u. Kepala Dinas Pendapatan Daerah adalah Kepala Dinas Pendapatan Daerah
Kabupaten Bima;
v. Bendaharawan Khusus Penerima adalah Bendaharawan Khusus Penerima
pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bima.
BAB II
NAMA SUBJEK, OBJEK DAN GOLONGAN
RETRIBUSI
Pasal 2
Dengan Nama Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dipungut setiap retribusi
pemakaian/pemanfaatan kekayaan daerah
Pasal 3
(1) Subyek Retribusi adalah Orang Pribadi, Badan atau Organisasi yang
memperoleh manfaat atau memakai kekayaan daerah dan diwajibkan untuk
membayar retribusi;
(2) Obyek Retribusi adalah pelayanan yang diberikan atau disediakan oleh
Pemerintah untuk setiap pemanfaatan/pemakaian kekayaan daerah;
(3) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah tergolong retribusi jasa usaha.
BAB III
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 4
Tingkat Penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis kekayaan daerah yang
dimanfaatkan, frekwensi, dan jangka waktu pemakaian/ pemanfaatan dengan batas
waktu 1 (satu) jam, 1 (satu) hari, 1 (satu) minggu, 1 (satu) bulan atau 1 (satu)
tahun.
BAB IV
PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN STRUKTUR DAN BESARNYA
TARIF RETRIBUSI
Pasal 5
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi
didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak sebagaimana
keuntungan yang pantas diterima oleh pengusaha swasta sejenis yang beroperasi
secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
BAB V
JENIS KEKAYAAN DAERAH, STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
RETRIBUSI
Pasal 6
Jenis Kekayaan Daerah terdiri dari :
a. Tanah;
b. Bangunan;
c. Tanah dan Bangunan dilokasi Pacuan kuda;
d. Alat-alat Berat;
e. Laboratorium;
f. Asrama dan Aula LLK-UKM.

Pasal 7
(1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah ditetapkan sebagai berikut:
a. Besarnya Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah berupa Tanah
sebagaimana dimaksud Pasal 6 huruf a dan tatacara pengenaan
Retribusinya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati;
b. Retribusi pemanfaatan bangunan :
1. Rumah :
NO
KELAS
RUMAH
LETAK
Desa
Kelurahan
Ibukota
Kecamatan
Ibukota
Kabupaten
1. I Rp. 75.000,- Rp. 75.000,- Rp. 100.000,-
2. II Rp. 60.000,- Rp. 70.000,- Rp. 95.000,-
3. III Rp. 50.000,- Rp. 66.000,- Rp. 90.000,-
4. IV Rp. 45.000,- Rp. 65.000,- Rp. 87.000,-
5. V Rp. 43.000,- Rp. 64.000,- Rp. 85.000,-
6. VI Rp. 40.000,- Rp. 63.000,- Rp. 83.000,-
7. VII Rp. 38.000,- Rp. 60.000,- Rp. 75.000,-
8. VIII Rp. 35.000,- Rp. 55.000,- Rp. 70.000,-
9. IX Rp. 32.000,- Rp. 50.000,- Rp. 65.000,-
10. X Rp. 30.000,- Rp. 45.000,- Rp. 60.000,-
11. XI Rp. 28.000,- Rp. 43.000,- Rp. 55.000,-
2. Gedung Paruga Parenta Rp. 250.000,- /hari
3. Wisma Komodo Rp. 200.000.000,- /thn
c. Retribusi Pemakaian Tanah dan Bangunan :
1. Arena Pacuan Kuda Panda.
a. Sewa Arena Pacuan Kuda selama 8 (delapan) hari 1 (satu) kali
kegiatan Rp. 1.500.000,- (Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah),
pembayaran dimuka;
b. Sewa Tempat Rombong Rp. 450.000,- (Empat Ratus Lima Puluh
Ribu Rupiah), pembayaran dimuka;
c. Sewa Arena Parkir disekitarnya, penyediaan fasilitas dan pinggir
jalan Rp. 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) pembayaran dimuka;
d. Penggunaan Fasilitas Pacuan Kuda, Balap Benhur setiap hari
minggu 1 (satu) ekor kuda Rp. 1.000,- (seribu rupiah)
pembayaran dimuka;
e. Penggunaan tempat fasilitas lain (Motor Cross, dll)
Rp. 750.000,- (Tujuh Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
2. Lokasi Taman Rekreasi Oi Wobo Rp. 200.000,- /hari
3. Lokasi Pesanggrahan Donggo Rp. 100.000,- /hari
4. Pesanggrahan Sape Rp. 2.000.000,- /thn
5. Taman Rekreasi Madapangga Rp. 200.000,- /hari
6. Retribusi Retribusi Pemakaian/Pemanfaatan Alat-alat Berat :
(1) Mesin Gilas/Walas :
1. Kapasitas s/d 1 Ton Rp. 250.000,- /hari;
2. Kapasitas 2-5 Ton Rp. 300.000,- /hari;
3. Kapasitas 6-8 Ton Rp. 400.000,- /hari;
4. Kapasitas 8-10 Ton Rp. 1.400.000,- /hari.
(2) Dump Truck :
1. Kapasitas 2,5 M³ Rp. 300.000,- /hari;
2. Kapasitas 3 M³ Rp. 400.000,- /hari.
(3) Mobil Crane Rp. 1.000.000,- /hari.
(4) Mobil Trailer :
1. Bima – Belo Rp. 4.000.000,-
2. Bima – Palibelo Rp. 3.000.000,-
3. Bima – Woha Rp. 4.000.000,-
4. Bima – Monta Rp. 4.000.000,-
5. Bima – Bolo Rp. 4.000.000,-
6. Bima – Madapangga Rp. 4.000.000,-
7. Bima – Wawo Rp. 5.000.000,-
8. Bima – Ambalawi Rp. 5.000.000,-
9. Bima – Wera, Rp. 6.000.000,-
10. Bima – Sape Rp. 6.000.000,-
11. Bima – Lambu Rp. 6.500.000,-
12. Bima – Parado Rp. 7.000.000,-
13. Bima – Langgudu Rp. 8.000.000,-
14. Bima – Lambitu Rp. 7.000.000,-
15. Bima – Soromandi Rp. 7.000.000,-
16. Bima – Donggo Rp. 7.000.000,-
17. Bima – Sanggar Rp. 9.000.000,-
18. Bima – Tambora Rp. 11.000.000,-
(5) Katrol Rp. 50.000,- /hari;
(6) Kaki Tiga Rp. 50.000,- /hari;
(7) Dongkrak Buaya Rp. 100.000,- /hari;
(8) Stone Crusher Rp. 650.000,- /hari;
(9) Motor Greder Rp. 1.400.000,- /hari;
(10) Excavator Kapasitas 1 M³ Rp. 1.400.000,- /hari;
(11) Wheel Loader 1 M³ Rp. 1.400.000,- /hari;
(12) Mobil Tangki Rp. 400.000,- /mobil;
(13) Mesin Getar Rp. 200.000,- /hari;
(14) Air Compressor Rp. 500.000,- /hari;
(15) Beton Molen Rp. 200.000,- /hari;
(16) Aspal Sprayer Rp. 200.000,- /hari;
(17) Pompa Air :
1. Kapasitas 6 M³/jam Rp. 200.000,- /hari;
2. Kapasitas 4 M³/jam Rp. 175.000,- /hari;
3. Kapasitas 3 M³/jam Rp. 150.000,- /hari;
4. Kapasitas 2 M³/jam Rp. 100.000,- /hari.
7. Pemeriksaan Laboratium/Pengujian Mutu :
1. Test Lapangan :
a. Soil Test (Sondir) & Hand Bor Rp. 500.000,- /lokasi;
b. Test Kekuatan Kubus Beton (Strengh) Rp. 50.000,- /kubus;
c. Test Kekuatan Beton (Hammer Test) Rp. 150.000,- /titik
d. Test Kepadatan (Sand Cone) Rp. 35.000,- /titik
e. Test Pemakaian Aspal (Extraksi) Rp. 150.000,- /titik
f. Core Drill Aspal Rp. 100.000,- /titik
2. Pengujian Laboratorium :
a. Pengujian Beton Rp. 300.000,-
b. Pengujian Tanah Timbunan Rp. 300.000,-
c. Pengujian Lapis Pondasi Aggregate Rp. 300.000,-
d. Pengujian Aspal Lapen Rp. 250.000,-
e. Pengujian Aspal Burda Rp. 250.000,-
f. Pengujian Aspal Burtu Rp. 250.000,-
8. Sewa Asrama dan Aula LLK- UKM Bima:
a. Sewa Asrama 1 Kamar Rp. 30.000,- /hari;
b. Sewa Aula I dan Kursi Rp. 200.000,- /hari;
c. Sewa Aula II dan Kursi Rp. 150.000,- /hari

1. Tarif retribusi sebagaimana dimaksud ayat (1) ditinjau kembali paling lama 5
(Lima) tahun
BAB VI
WILAYAH, MASA RETRIBUSI DAN TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 8
Wilayah Pungutan adalah Wilayah Kabupaten Bima.
Pasal 9
(1) Masa retribusi adalah jangka waktu yang ditetapkan sebagai dasar untuk
menentukan besarnya retribusi terhutang;
(2) Retribusi terhutang sebagaimana dimaksud ayat (1) terjadi pada saat orang
pribadi atau badan mulai memakai atau memanfaatkan kekayaan daerah.
Pasal 10
(1) Pungutan retribusi tidak dapat diborongkan;
(2) Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Keputusan Retribusi Daerah
(SKRD) atau dokumen lain yang dipersamakan;
(3) Dalam waktu selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sejak diterbitkan
SKRD atau Dokumen lain yang dipersamakan dengan itu retribusi terhutang
harus sudah dilunasi.
BAB VII
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 11
(1) Pembayaran Retribusi yang terhutang dilakukan secara tunai atau kontan;
(2) Pembayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) menggunakan SPP-R atau
dokumen lain yang dipersamakan;
(3) Pembayaran dilakukan melalui bendahara penerima pada Dinas Pendapatan
Daerah dan disetor ke Kas Daerah paling lama 1 X 24 jam;
(4) Apabila terjadi hal-hal yang luar biasa dan mengakibatkan tidak dapat
dilaksanakannya pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka
ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran ditetapkan dengan Peraturan
Bupati;
(5) Bagi wajib retribusi yang telah melakukan pembayaran retribusi diberikan
tanda bukti pembayaran.
BAB VIII
PENAGIHAN DAN TEGURAN/PERINGATAN
Pasal 12
(1) Retribusi terhutang yang ditetapkan berdasarkan SKRD atau dokumen lain
yang dipersamakan yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib retribusi dapat
ditagih dengan surat paksa;
(2) Penagihan dengan surat paksa sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
(3) Pengeluaran surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal
tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan segera setelah 7
(tujuh) hari sejak jatuh tempo pembayaran;
(4) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat
teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi
retribusi terhutang;
(5) Surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh Bupati
atau Pejabat yang ditunjuk.
BAB IX
PENYIDIKAN
Pasal 13
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan
tindak pidana dibidang retribusi;
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi agar
pengaduan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan
sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi;
c. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi;
d. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap barang bukti tersebut;
e. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana dibidang retribusi;
f. Menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan
atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud huruf
e;
g. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi;
h. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
i. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak
pidana dibidang retribusi menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
(3) Penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB X
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 14
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang
membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen)
setiap bulan dari retribusi yang terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan
menggunakan STRD.
BAB XI
SANKSI PIDANA
Pasal 15
Setiap orang/badan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah).
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Bima
Nomor 14 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku lagi.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah.
Ditetapkan di : Raba – Bima
Pada tanggal : 03 Desember 2007
BUPATI BIMA,
FERRY ZULKARNAIN
Diundangkan di : Raba – Bima
Pada tanggal : 03 Desember 2007
SEKERTARIS DAERAH KABUPATEN BIMA
H.A.MUCHLIS HMA.
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BIMA TAHUN 2007 NOMOR : 8
11
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BIMA
NOMOR 8 TAHUN 2007
TENTANG
RETRIBUSI IZIN PEMAKAIAN KEKAYAAN DAERAH
I. UMUM
Berdasarkan pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001tentang Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4139),
semua Peraturan Daerah yang mengaur Retribusi yang telah ada sebelum lahirnya Peraturan
Pemerintah ini harus segera disesuaikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 diundangkan pada tanggal 13 September 2001,
dengan demikian seharusnya penyesuaian Peraturan Daerah – Peraturan Daerah yang terkait
dengan Retribusi harus dilaksanakan paling lambat sampai tanggal 13 September 2002.
Dalam teknik penyusunan Peraturan perundang-undangan dikenal penyesuaian dikenal dengan
perubahan Perundang-undangan yang dapat dilaksanakan sampai maksimal tiga kali, dan apabila
dikehendaki untuk diubah untuk keempat kalinya, maka agar lebih mudah pahami oleh pengguna
perundang-undangan sebaiknya perundang-undangan apabila diganti dan dibuat ulang.
Ketentuan yang mengatur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 10 tersebut maka kaidah Perubahan Peraturan
Perundang-undangan memiliki ketentuan khusus, yakni apabila perubahan perundang-undangan
tersebut mengakibatkan :
a. Sistimatika Peraturan Perundang-undangan berubah;
b. Materi Peraturan Perundang-undangan berubah lebih dari 50 % atau;
c. Esensinya berubah.
Maka peraturan perundang-undangan tersebut harus dicabut dan disusun kembali dalam peraturan
perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
Peraturan Daerah Kabupaten Bima Nomor 14 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan
Daerah disusun dengan didasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, disamping secara esensial tdak sesuai dengan substansi yang terkandung
dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga sistimatikan dan
materi yang mengatur tentang besaran tarif sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini
sehingga perlu diganti dengan Peraturan Daerah yang baru.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 S/D 17 : Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BIMA NOMOR 21

Sumber:
http://www.bimakab.go.id/ 18/02/2010
Selengkapnya